SEJARAH PEMIKIRAN AL – KHAWARIJ
(Azariqoh, Najadad, Sufriyah, Ibadiah )
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
"Sejarah Pemikiran Islam"
Yang di bimbing oleh:
Dr. Biyanto, M.Ag
Oleh:
Maftuchatul Choiriyah
Nim: F05411 122
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011
Abstak
Setiap ummat
Islam wajib menjadikan dirinya sebagai ummat yang bisa menjadi panutan bagi
ummat yang lainnya, dan mengikrarkan dengan kalimat tauhid. Akan tetapi apabila
kita temukan ummat Islam yang gemar akan permusuhan, bercerai berai dengan
saudaranya yang seagama maka mereka semua termasuk orang yang merugi di dunia.
Dan diwajibkan bagi seluruh ummat muslim untuk menunjukkan kepada saudaranya
jalan kebenaran dan membukakaan tujuan yang baik bagi meraka.
Khawarij adalah
sekolompok golongan yang dipimpin oleh Ali ibn Abi Thalib, yang menolak
keputusan Amr bin `ash yang mewakili kubu muawiyah dan Abu Musa Asy`ari yang
mewakili kubu Ali pada pertempuran Shiffin.
Khawarij
merupakan kelompok yang menyimpang dari pemahaman Islam yang sudah jelas dan
mutlak kebenarannya.
Khawarij
bermusuhan terhadap Ali maupun terhadap Mua`awiyah mereka beranggapan, orang
–orang Islam selain mereka sendiri adalah kafir dan halal darahnya serta
kekayaannya. Mereka relative membenci Mu`awiyah dari pada Ali, karena menurut
mereka telah menghambur –hamburkan uang rakyat dan meniru pola hidup Kaisar dan
kaum feodal Romawi
A.
Sejarah lahirnya
al-Khawarij dan Pembagiannya
Khawarij adalah bentuk jamak dari
“kharij” dan berasal dari akar kata “kharaja” yang berarti keluar, Kata keluar
bermaksud “walk out” dari patuh dan loyal kepada pemimpin atau Imam yang sah.
Seorang Khawarij mendemonstrasikan keingkarannya dan membentuk wilayah sendiri
yang eksklusif. Ulama Fiqih menyebut Khawarij dengan Istilah “al-Baghi” atau pembangkang.
Khawarij adalah sekelompok kaum
yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib, karena mereka tidak setuju dengan
upaya Tahkim/ arbitrase[1],
dalam
rangka mencapai perdamaian dalam perang shiffi. Keluarnya khawarij dari barisan
Ali ibarat keluarnya anak panah dari busurnya.
Al-Khawarij lahir dari konflik yang
terjadi pada masa Ali bin abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Konflik
tersebut tidak bisa diselesaikan, peristiwa tersebut berawal dari keinginan Ali
sebagai Khalifah yang sah untuk mereshufle semua gubernur yang diangkat oleh
khalifah Usman bin Affan. Mu’awiyyah selaku Gubernur Siria menolak dan tidak
mentaati keputusan Ali, sehingga terjadilah konflik antara keduanya. Selanjutnya
Mu’awiyyah menuntut Ali segera menemukan dan menangkap dan menghukum para
pelaku pembunuhan Usman. Tidak ada alternatife lain bagi Ali bin Abi Thalib
kecuali memerangi Muawiyyah yang dianggapnya sebagai pembangkang.
Sebanyak 50.000 balatentara
dipersiapkan Ali bin Abi Thalib berangkat menuju utara tempat tersebut bernama
Shifin, dan bertemu dengan pasukan Muawiyyah yang berjumlah 80.000. Peperanganpun
meletus, dengan kemenangan dipihah Ali, melalui juru runding Amr bin Ash
Muawiyyah meminta Ali berdamai dan menghentikan peperangan, kemudian kedua
pihak sepakat mengakhiri peperangan dan selanjutnya melaksanakan perundingan
(arbitrase).
Dalam pelaksanaannya arbitrase yang
dilakukan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyyah bin Abi Sofyan di
tunjuklah juru bicara masing masing dari pihak Muawiyyah ditunjuklah Amr ibnu
Ash, sementara fihak Ali menginginkan Abdullah Ibni Abbas.[2]
Dari fakta diatas jelas bagi kita,
bahwa dari kedua sosok perunding tersebut terdapat kepentingan yang bertolak
belakang. Amru bin Ash sangat berkepentingan dalam melanggengkan status quonya,
sementara Abu Musa AL-Asy`ari ia tidak memiliki hubungan darah dengan Ali dan
juga tidak ada kepentingan politis, karena ia merupakan korban dari Ali dalam
meresufle gubernur.
Dengan demikian tidak mengherankan
Amr bin Ash mati matian membela Muawiyyah semenatara Abu Musa al-Asy’ari tidak,
inilah indikasi kekalahan dalam arbitrase tesebut, arbitrase tersebut dilakukan
pada bulan Ramadhan 37H (Januari 659H) di suatu tempat yang bernama Dumat
al-Jandal, antara Madinah dan Damaskus, adapun materi perundingan tersebut ada
dua yaitu : Siapa yang tepat menjadi Khalifah dan apakah Usman terbunuh secara
zalim, setelah upaya lobi dan upaya serius yang ditempuh oleh Amru bin Ash,
akhirnya berhasil meyakinkan Abu Musa Al-As’aryi, sehingga lahirlah keputusan
bahwa Usman terbunuh secara zalim dan Muawiyah pantas menuntut balas atas kematiannya.[3]
Pada saat hasil perundingan yang telah
disetujui itu diumumkan kepada umat Islam, Amr bin Ash tampil dalam penyampaian
keputusan tersebut mengeluarkan pernyataan bahwa Muawiyyah ditetapkan sebagai
Khalifah. Pernyataan tersebut menimbulkan suasana gaduh dan kekecewaan di kalangan
umat Islam.[4]
Dari peristiwa ini jelas bagi kita bahwa Arbitrase bagi Muawiyyah hanyalah
sebuah upaya untuk menghindari kekalahan waktu berperang dan untuk merebut
posisi khalifah. Keputusan Amr bin Ash tersebut ditolak oleh Ali karena sudah
menyimpang dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW, oleh karena dia
menyatakan dirinya tetap sebagai Khalifah dan Muawiyyah sebagai pembangkang.[5]
Keadaan setelah peristiwa tersebut
semakin tidak stabil dan menjadikan umat islam berada dalam ketidak stabilan. Sebagian
umat menyalahkan Ali kenapa mau menerima Abitrase bahkan ada juga yang
mengkafirkan Ali, namun ada juga pengikut Ali yang tetap mendukung Ali dan tidak
menyalahkannya sedikitpun, ada juga yang bersikap netral.
Pendukung setia Ali adalah
orang-orang yang pertama mempersalahkan dalam menerima tawaran tahkim. Menurut
mereka arbitrase tidak sesuai dengan syari’at Islam. Bahkan mereka menyatakan
setiap orang yang terlibat dalam Tahkim tersebut adalah kafir. Golongan inilah
yang dinamakan dengan sekte al-Khawarij. Mereka memilih Jargon dan ungkapan
yang menjadi landasan utama dari membentuk barisan mereka yaitu” Tidak ada
hukum kecuali hukum dari Allah”. Oleh karena itu mereka menganggap Ali dan
Mu’awiyyah telah menyimpang dari Islam. Landasan atau Jargon Khawarij ini
diambil dari firman Allah Swt yang terdapat dalam surat al-Ma’idah ayat 44 :
وَمَنْ لـــَّمْ يــَحْكُمْ بــِمَا أَنـــــْزَلَ اللهُ
فــَأُ لَـــئــِكَ هُمُ الـْـكــــَـافــــِرُوْنَ
(Dan
sesiapa Yang tidak menghukum Dengan apa Yang telah diturunkan oleh Allah
(kerana mengingkarinya), maka mereka itulah orang-orang kafir.)
Berdasarkan ayat tersebut, mereka
menjatuhkan vonis kepada Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Abu
Musa al-‘Asaryi dan Amr bi Ash sebagai Kafir.
Setelah itu Theology al-Khawarij mengalami perkembangan dalam mengkategorikan
seorang itu kafir, seperti setiap pelaku dosa besar juga dianggap kafir.[6]
Arbitrase ini berakibat kepada
hilangnya dukungan dari pengikut Ali yang militan dan marah dengan upaya Tahkim
tersebut. Mereka membentuk kelompok yang bernama “al-Syurat” yaitu :
Orang-orang yang menjual diri secara totalitas kepada Allah dan rela berkorban
demi Agama yang benar.[7]
Maka sebutan al-Syurat nama lain
dari al-Khawarij itu sekaligus memberikan gambaran tentang hakikat dan sifat
gerakan mereka, yaitu gerakan dengan semangat, dengan sendirinya kelompok ini
berkembang menjadi kelompok dengan tingkat ekstrim dan militansi yang tinggi.
Egalitarinisme yang radikal dari kelompol ini membawa mereka kepada konsep-konsep
sosial dan politik yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita Islam yang diletakkan
oleh Rasulullah saw dan merupakan kelanjutan cita-cita universal dalam tradisi
bangsa-bangsa. Namun karena cita-cita tersebut dibawa dengan militansi yang
tidak terkendali, konsep tersebut melahirkan hijrah; yaitu semua orang harus
menyingkir dari tatanan yang mapan dan bergabung dengan mereka atas dasar iman
yang benar, korban yang menjadi target utama mereka adalah Ali ra sendiri,
tokoh yang pernah mereka sanjung dan kultuskan namun akhirnya mereka habisi dalam
drama pembunuhan akibat faktor politis.
Al-khawarij terkenal dengan
kekerasan dalam berprinsip, mereka tidak mau berkompromi dalam hal penyimpangan
agama selain dari ajaran Islam yang mereka yakini. Prinsip tersebut terbawa pada
sejarah kaum khawarij itu sendiri. Mereka umumnya kaum badui yang hidup di
padang pasir tandus, kehidupan sehari-hari mereka menyebabkan mereka menjadi
pemberani, tegas dan tidak mau bergantung kepada orang lain. Disisi lain pula
kehidupan sebagai badui membuat mereka terus semakin jauh dari ilmu Islam. Oleh
karena itu mereka memahami al-Qur’an dan Hadis secara harfiah saja. Akibat dari
aktifitas mereka yang selalu merongrong tatanan dan aturan Islam yang sudah
mapan mereka juga di gelari sebagai kaum “al-hururiyun”. Seperti dikatakan tadi
mereka ini mengalami penghancuran diri sendiri (self annihilation) karena
watak mereka yang ekstrem, akibatnya mereka perlahan-lahan punah dan hampir
hilang dari peta umat Islam hingga saat ini.
Walaupun secara fisik khawarij
hilang dari peta umat Islam saat ini, namun pada hakikatnya secara doctrinal
justru dia tetap hidup dan dipakai pada faham-faham keagamaan yang saat ini
berkembang.
B. Pemikiran dan gaya Penafsiran al-Khawarij terhadap
ayat al-Qur’an
Perkembangan pemikiran sekte Al-Khawarij
berikutnya adalah masalah kedaulatan Tuhan, artinya kewenangan bersumber dari Tuhan.
Dengan kata lain otoritas yang berada di tangan manusia itu pada prinsipnya
melaksanakan otoritas Tuhan, terutama dalam hal mempertahankan eksistensi
Syari’at. Pelembagaan itu pada hakikatnya merealisasikan keadilan itu berada di
tangan kehidupan umat. Untuk menciptakan kelestarian syari’at dan keadilan
diperlukan adanya sesuatu kekuatan politik yang dikendalikan oleh seorang
penguasa yang mendapat legalitas dari umat. Doktrin Al-Khawarij ini pada
hakikatnya bermaksud meletakkan otoritas Tuhan di atas semua manusia. Iman
adalah palaksanaan perintah Tuhan, inilah sebabnya mereka berbicara tentang “al-Bai’ah
lillah”.[8]
Dalam aspek penafsiran terhadap
ayat al-Qur’an al-Khawarij tidak memiliki kedalaman ilmu tentang Takwil dan
mereka juga tidak mau peduli terhadap apa maksud sebenarnya makna ayat -ayat
tersebut, mereka juga tidak membebani diri mereka dengan sikap yang serius dan
sungguh-sungguh untuk mencari maksud yang menjadi sasaran dari makna ayat
al-Qur’an.
Al-Khawarij mempunyai pandangan
dangkal pada ayat-ayat al-Qur’an, kadang-kadang ayat yang mereka fahami itu
tidak sesuai dengan maksud sebenarnya.[9]
Di kalangan al-Khawarij sendiri,
terdapat banyak mazhab yang mempunyai pemikiran atau pendapat yang berbeda satu
dan lainnya. Namun demikian mereka tetap menisbahkan pendapat mereka itu kepada
Islam. Mereka semua mengakui al-Qur’an. Di dalam setiap ajaran dan untuk
memperkuat pendapat, mereka selalu menjadikan al-Qur’an sebagai dasar pijakan
dan dasar untuk menumbuhkan keyakinan mereka, namun hanya terkait kepada
ayat-ayat yang bisa mendukung pendapat mereka, untuk ayat ini mereka akan tetap
mempertahankannya, sebaliknya jika persoalan tersebut tidak bersesuaian dengan pendapat
dan pendirian serta kepentingan mereka, mereka berupaya sekuat tenaga untuk
lepas dan mulai memalingkan.[10]
Diantara
mazhab-mazhab dalam sekte al-Khawarij adalah sebagai berikut :
1.
Mahkamah Ula,
merupakan kelompok asli Khawarij karena mereka orang –orang yang keluar dari
Imam Ali, sesudah mereka membenci Imam Ali tanpa mereka ridho dengan salah satu
basis tempat mereka di sebuah daerah Hururah (Kuffah). Mahkamah Ula
tpengikutnya terdiri dari 12.000 orang, pemimpinnya adalah Abdulloh bin Kawa
dan Syit bin Ruba`i. Mahkamah ula hanya sampai munculnya Azariqah.
2.
Azraqiah,
merupakan pengikut dari Nafi’ bin al-Azraq, yang di juluki Abi Rasyad,Nafi` bin
Azraq terbunuh pada tahun 65 H di limpahkan kekuasaannya kepada Nafi` bin
Ubaidillah atau Abdulloh bin Maus at-Tamimi. Beliau baru di lantik terbunuh
juga. Mazhab ini memiliki beberapa prinsip seperti : Mereka mengkafirkan selain
dari kelompok mereka, haram mengkonsumsi sembelihan dari selain kelompok
mereka, dan juga haram menikahi yang bukan dari kelompok mereka, dan tidak
boleh mendapat warisan selain dari kelompok mereka, dan bermu’amalah dengan
selain kelompok mereka sama dengan bermua’malah antara orang kafir dengan orang
musyrik. Azariqoh mengkafirkan imam Ali alasan mereka adalah mereka ridho
dengan adanya tahkim saling kufur mengkufurkan. Azariqah juga mengikuti hukum
rajam zina, Azariqah berpaham bahwa mengambil amanat oaring yang tidak
sependapat hartanya boleh di miliki, mereka juga berpendapat bahwa sholaat
dengan selain orang Azariqoh haram.[11]
3.
Al-Najdad,
merupakan pengikut Najdah bin Amir, diantara prinsip mereka adalah : Tidak ada
keperluan manusia kepada Imam selama-lamanya, namun sekiranya umat memerlukan
pemimpin maka perlu diangkat, jika tidak diperlukan, maka tidak boleh diangkat.
Pemikiran penting kelompok al-Najdad adalah Khawarij ingin membangun
masyarakatnya secara qur`ani, menekankan kepada komunikasi.
4.
Al-Safariyyah,
merupakan pengikut Ziyad bin al-Asfar, diantara prinsip mereka adalah pelaku
dosa besar adalah musyrik, namun ada diantara mereka mengatakan bahwa setiap
pelaku dosa sudah disediakan had nya dalam Syari’ah, pelakunya tidak dikatakan Musrik
atau kafir, tetapi dinamakan sesuai dengan dosa yang mereka lakukan.
5. Al-Ibadhiah,
merupakan pengikut Abdullah bin Ibad, kelompok ini terpecah menjadi enam
diantaranya adalah:
a. Hafsiyah
pemimpinnya adalah Hafsiyah bin Abi Muqaddam pemikirannya membedakan antara
kafir dan syirik.
b. Harisiyah
pemimpinya adalah Harits bin Nazid Al –Ibadi mereka berpendapat bahwa masalah
takdir seperti faham Mu`tazilah
c. Ashhabutho`ah
pendapat mereka manusia harus taat kepada Alloh secara keseluruhan.
d. Yazidiah
pengikut Yazid bin Abi Anisah Al-Khariji orang Basrah yang pindah ke negeri
Persi mereka berpendapat Rasul bukan dari orang Arab dan kitab dari langit yang
menghapuskan kitab atau syariat dari Nabi Muhammad.
e. Syaidiyah
pendapatnya Syaib bin Zayid Asy-Syaibani
f. Bihasyiah
pengikut dari Habini Hasan Al- Haidhan bin Jabir, menurut beliau manusia
mengetahui semuanya dan mereka berpendapat bahwa iman di hati bukan pada
perkataan
Pemikiran Ibadiyah secara umum
g. Mengkufurkan
sahabat –sahabat besar seperti Ali bin Abi Thalib
h. Orang
yang berbeda pendapat dikatan kufur nikmat belum sampai derajat kafir dan
meraka yang berbuat dosa besar dikatakan kafir.
Yang
paling sederhana/moderat dan ajarannya mendekati faham ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Sebagai contoh, kita bisa lihat, bahwa sesungguhnya mayoritas kalangan mazhab mazhab
dari sekte al-Khawarij ini setuju bahawa pelaku dosa besar disebut ”kafir” dan
mereka kekal di dalam neraka Jahannam.
Pendapat
ini merupakan pendapat dan prinsip umum dari al-Khawarij, dan semua mazhab
tunduk dibawah prinsip ini dan tidak akan pernah berubah.[12]
C. Contoh-Contoh Penafsiran al-Khawarij
Berikut ini diantara penafsiran
yang dilakukan al-Khawarij terhadap ayat-ayat al- Qur’an yang bertujuan untuk
menyokong dan menguatkan eksistensi sekte mereka, adapun contoh tersebut
sebagai berikut :
1. Ayat yang melegitimasi dalam
memvonis kafir terhadap setiap pelaku dosa besar, yaitu dalam surat Ali Imran
ayat 97 :
وَلِلَّهِ عَلىَ النَّاسِ حِجُّ اْلبـــَيْـــتِ مَنِ اســـْتــَـطَاعَ
اِلـَــيــْهِ ســَـبِــيْــلاً وَمَـنْ كــَفـَـرَ فـَإِنَّ اللهَ غَــنــِيٌّ عَـنِ
الْعَـالـَمِيــْنَ
(Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu
bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah, barangsiapa
mengingkari kewajiban haji, sesungguhnya Allah maha kaya dari semesta alam)
Ayat
ini mereka simpulkan bahwa orang yang meninggalkan kewajiban haji masuk kepada
kategori kafir.
2.
Firman Allah swt dalam Surat al-Ma’idah ayat 44 :
وَمَنْ لــَمْ يـَحـْكُمْ بـِـمَا أَنـْزَلَ اللهَ فَـأُ
لَئـِكَ هُمُ الْكــَافــِرُوْنَ
(Barang siapa Yang tidak menghukum menurut apa yang telah
diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.)
Menurut al-Khawarij, bahwa setiap
pelaku dosa/pekerja maksiat, tapa mempermasalahkan tinggkat syariknya, maka
tetap dia menjadi ”kafir”, karena mereka telah menyimpang dari wahyu Allah swt.
Al-khawarij juga menghukum para pelaku maksiat tersebut sesuai yang tertulis
dalam nash al-Qur’an tersebut.
3.
Firman Allah swt surat al-Taghabun ayat 2 :
هُـوَ الَّذِى
خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كاَفِرٌ وَمِنْكُمْ مُؤْمِنٌ وَاللهُ بــِمَا تَعْمَلــُوْنَ
بــَصِـــيــْرٌ
(Dia lah Yang menciptakan kamu; maka diantara kamu ada yang
kafir dan ada diantara kamu yang beriman; dan Allah Maha melihat apa Yang kamu
kerjakan.)
Mereka menyimpulkan dari makna
zahir ayat ini, menurut mereka tidak ada kategorisasi fasiq. Menurut
al-khawarij manusia terbagi kepada dua kategori saja yaitu mkmin dan kafir. Manusia
berada pada posisi iman dankafir, maka oleh karena tidak kategori lain kecuali mukmin
dan kafir, mereka mengatakan bahwa orang yang tidak beriman, otomatis menjadi kafir,
sementara fasiq tidak berada dalam kategori mukmin, maka tetap menjadi golongan
kafir.
4.
Firman Allah Swt dalam Surat Ali Imran ayat 106 :
يـَوْمَ تــَبــْيَضُّ
وُجُوْهٌ وَتــَسْوَدُّ وُجُوْهٌ فَأَمَّ الَّذِيْنَ اسْوَدَّتْ وُجُوْهُهُمْ أَكَفَرْتُــمْ
بــَعْدَ إِيــْمَانِــكُمْ فَـــذُوْقُ الْعـــَذَابَ يــِمَا كُنـــْتـــُمْ تَكْفُرـُوْنَ
(Dan adapun orang-orang yang fasik, maka tempat mereka ialah
neraka; setiap kali mereka hendak keluar dari padanya, mereka dikembalikan
kedalamnya, dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah siksa neraka Yang
dahulu kamu mendustakannya".)
Pada hari yang di waktu itu ada
muka yang putih berseri, dan ada pulamuka yang menjadi hitam muram. adapun
orang-orang yang telah hitam muram mukanya, (kepada mereka dikatakan):
"kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakan azab disebabkan
kekafiran kamu itu". Al-Khawarij mengatakan :“Orang Fasiq tidak termasuk
kepada yang putih wajahnya, dan sudah pasti termasuk yang hitam wajahnya dan
wajib dihukum kafir”
5. Firman Allah
Swt dalam Surat al-Sajadah ayat 20 :
وَأَمَّا الَّذِيْنَ
فَسـَــقُوْا فَــمَــأْوَاهُــمُ النَّـــارَ
كُــلَّــمَا أَرَادُوْا أَنْ يـَـخـْـرُجُــْوا مِــنْـــهـَـا
أُعـِــيـْـدُوا فـِـيْــهـَـا وَقـِـيْــلَ لَــهُــمْ ذُوقُــوا عَــذَابَ
الـنَّــارِ الَّذِى كُــنْــتُــمْ بـِـهِ تُــكَــذِّبـُـوْنَ
(Dan adapun orang-orang yang fasik, maka tempat mereka ialah
neraka; setiap kali mereka hendak keluar dari padanya, mereka dikembalikan kedalamnya,
dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah siksa neraka Yang dahulu kamu
mendustakannya".)
Berdasarkan
ayat ini al-Khawarij menjadikan seseorang itu termasuk golongan pendusta.
Demikian beberapa ayat-ayat al-Qur’an,. Dijadikan al- Khawarij untuk mengklaim
para pelaku dosa besar sebagai ”kafir” Setelah menganalisa penafsiran
ayat tersebut, stelah itu kita coba membandingkan nya dengan ahlu sunnah wa
al-Jama’ah, maka sangat kelihatan sekali keanehan dan keganjilan penafsiran
al-Khawarij tersebut. Berdasarkan itu dapat kita katakan bahwa penafsiran
al-Khawarij sangat jauh dari kaedah penafsiran yang sebenarnya, dan fenomena
menyimpang ini dapat menimbulkan pertentangan dan konflik dikalangan umat Islam
D. Sikap Al-Khawarij Terhadap Sunnah, Ijmak
Ulama Dan Dampak Sikap Tersebut terhadap
Penafsiran.
Pengaruh-pengaruh ke jumudan atau
stagnasi pemikiran sekte al-Khawarij terhadap pemahaman nash-nash al-Qur’an,
mereka tidak mengabaikan dan memperhatikan sumber hukum Islam kedua yaitu Hadis
Rasulullah saw yang berfunsi sebagai Mubayyin, Naakh, Takssis bagi ayat-ayat
yang umum atau sebagai penambah hukum al-Qur’an. Banyak sekali Hadis-hadis
Rasulullah yang mereka abaikan dan dustakan, bahkan mereka berusaha
memalsukannya, seperti yang terjadi dalam hadis :
إنكم
الله كتاب
ستختلفون من بعدى، فما جاءكم عنى فاعرضوه على
Abdurrahman
al-Mahdi : al-Zanadiqah dan al-Khawarij telah memalsukan Hadis ini menjadi :."
مَا أتَاكُم عَنى فَاعْرِضُوهُ عَلىَ كِتَابُ اللهُ...إلخ
Contoh
lain dari Penyelewengan merekas dan pengingkaran mereka terhadap hadis
rasulullah saw adalah : "لَا وَصِيَّةَ
لـــِوَارِثٍ"
Artinya : Tidak
ada wasiat bagi ahli waris
Mereka
mengatakan mengenai hokum wasiat ditolak oleh al-Qur’an, melalui firman Allah
swt dalam surat al-Baqarah 180 :
كــُتــِبَ
عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَاَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَالْأَقْرَبِيْنَ بِالْمَعــْرُوفِ
حــَقًّا عَلَى اْلــمُتـــَّـقِيْنَ
(Diwajibkan atas Kamu , apabila seseorang diantara kamu hampir
mati, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak dan
karib kerabatnya secara baik (ini adalah kewajiban), atas orang-orang Yang bertaqwa.)
Menurut mereka ibu dan bapak dalam
keadaan bagaimanapun tidak boleh dihalangi untuk mendapatkan wasiat, Menurut
mereka riwayat/hadis ini salah dan bertentangan dengan al-Qur’anxiii
Sebagaimana golongan al-Khawarij
karena kuatnya pengaruh mabda’ dan pemikiran mereka yang jumud, menyebabkan
mereka tidak memperhatikan Ijma’Ummah, dan mereka juga tidak pula menganggap
Ijma’ tersebut sebagai salah satu sumber landasan dalam memahami Nash Al- Qur’an
dan sunnah, seperti kita ketahui bahwa ijma’ juga disandarkan kepada sumber
utma yaitu al-Qur’an dan Hadis, inilah salah sdatu penyebab mereka membuat
hadis-hadis palsu.. Dalam hal ini al’Alamah Ibnu Qutaibah telah banyak
mendatangkan hujjah untuk menolak kekeliruan tersebut.
E. Karya-karya Tafsir al-Khawarij
Tradisi al-Khawarij dalam
melahirkan dan membuat karya-karya tafsir tidak sesubur karya Tafsir yang di
lahirkan oleh Sunni, Mu’tazilah dan syi’ah, baik dari segi kuantitas (jumlah),
ataupun dari segi Kualitas (mutu). Diantara karya-karya tafsir yang dibuat
al-Khawarij adalah :
Tafsir
Abdurrahman Bin Rustam al-Farisi (abad ke-3H)
Tafsir
Hiwad bin Muhkam al-Hawari (abad ke-3H)
Tafsir
Abi Ya’qub, Ysuf bin Ibrahim al-Warjalani (Abad ke-6H)
Tafsir
Da’i al-‘Amal li yaum al ‘Amal, oleh Syaikh Muhammad Yusuf Itfis (Mufassir
kontemporer meninggal pada tahun 1332H)
Tafsir
Himyan al-Zaadi il Dar al-Mi’ad, oleh Syaikh Muhammad Yusuf
Itfis
Taisir
al-Tafsir, oleh Syaikh Muhammad Yusuf Itfis
Tafsir Abdurrahman Bin Rustam
al-Farisi sudah tidak ditemukan lagi pada masa sekarang ini. Sementara Tafsir
Hiwad bin Muhkam al-Hawari masih di jumpai dan dipopulerkan oleh mazhab
Ibadhiyyah di negeri Magribi, saat ini dan dicetak sebanyak empat jilid, jilid
pertama dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-An’am,
adapun jilid ke-4 diawali dari surat al-Zumar dan berakhir pada akhir surat
al-Qur’an (Surat An-Nas).
Adapun tafsir Abi Ya’qub, Yusuf bin
Ibrahim al-Warjalani juga tidak ditemukan lagi pada saat sekarang, tafsir ini
merupakan kitab tafsir yang terbaik disbanding kan tafsir yang lainnya dari
sudut pembahasan, tahqiq dan i’rabnya. Sementara tafsir Da’i al-‘Amal li yaum
al ‘Amal, oleh Syaikh Muhammad Yusuf Itfis, belum selesai penyusunannya karena
pengarang berazam untuk menjadikan Tafsir ini menjadi 30 juz, tetapi karena
pengarang disibukkan dengan mengarang kitab tafsir Himyan al-Zaadi il Dar
al-Mi’ad, tafsir Himyam ini masih ditemukan pada saat sekarang dan berjumlah 13
jilid, dan naskah tafsir ini dapat dijumpai di Dar al-Kuttub di Mesir, dan yang
terakhir adalah kitab tafsir Taisir Tafsir dicetak sebanyak tujuh jilid dan
dapat dijumpai di Dar al-Kuttub di Mesir. Karya-karya tafsir al-Khawartij ini
sangat terbatas dari segi jumlah, sebagian masih bias ditemukan dan yang lainnya
sudah tidak diketahui keberadaannya dan tidak membawa pengaruh yang berarti
pada saat sekarang.
Karya tafsir al-khawarij yang mudah
dijumpai saat ini adalah dari mazhab Ibadhiyyah, mazhab Ibadhiyyah ini tersebar
di al-Magribi, Hadramaut (Yaman), Oman, Zanbajar. Timbul pertanyaan pada kita
semua, apa yang melatar belakangi sediktnya lahir karya-karya tafsir dari sete
al-Khawari, Muhammad Husain al- Dzahabi dalam karya agungnya “al-Tafsir wa
al-Mufassirun”, menyatakan tiga factor penyebabnya :
1) Sedikit dari kalangan
al-Khawarij yang menetap di Basrah, Kuffah, golongan al-Khawarij kebanyakan
berasal dari arab Badui (pedalaman) yaitu dari kabilah Tamim, dan sedikt dari
mereka tersebut yang tinggal di Basrah. Mereka hidup jauh dari manusia dan perkembangan
dan kemajuan agama, ilmu dan social. Mereka menjunjung tinggi Islam sesuai
pemahaman mereka dan tidak mau menerima pandangan ajaran dari Islam dari sekte
lain
2) Sepanjang perkembangan dan
pertumbuhannya, golongan al- Khawarij disibukkan dengan peperangan sehingga
dengan peperangan ini menghabiskan waktu, keterlibatan al-Khawarij dalam perang
di mulai dari konflik antara Ali bin Abi Thalib hingga peperangan dengan Bani
Ummayah , kemudian peperangan Bani Ummayah dengan bani Abbasiyyah dan seterusnya,
sehingga dapat disimpulkan al-Khawarij praktis tidak pernah absent dari perang
3) Al-Khawarij khas dengan
pemikiran mereka yang aneh-aneh dan ganjil, mereka focus dan berkosentrasi
untuk membersihkan aqidah dan berpoegang teguh kepada iman, dan mereka juga berpandangan
bahwa berdusta termasuk dosa besar, hal ini menyebabkan mereka tidak menumpukan
kosentrasi mereka untuk memperdalam tafsir dan menghindar untuk membahas
disebalik makna ayat al-Qur’an, karena menurut mereka aktivitas tersebut tidak
akan mendatangkan manfaat dan kebenaran, karena mereka takut aktifitas tersebut
menjadi ajang berdusta kepada Allah.[13]
Kesimpulan
Sekte Khawarij
mempunyai beberapa madzhab dan masing –masing madzhab memiliki pegangan dan
prinsip tersendiri. Namun mereka para Imam imam madzhab sepakat dengan satu
prinsip utama mereka yaitu mengkafirkan sahabat Nabi SAW Saidina Ali bin Abi
Thalib ra, Sayyidina Usman bin Affan ra, Muawiyah bin Abi Sufyan ra, Amr bin
Ash ra, dan semua yang terlibat dalam proses arditrase atau tahkim sampai
kepada kelompok pelaku dosa besar dan yang tidak ikut pada golongan Khawarij
dikatakan kafir.
Daftar Pustaka
Al –Qur`an Al- Karim
Al –Khudri M, Tarikh
Tasri` Al –Islamiyah, Kairo, Al –Maktabah Al-Adab
Husain Al- Dzahami M, Al-
Ittihad al-Munharifah Fi Tafsir Al-qur`an Al-Karim, Darul Ihya` Al-Turots
Al-Arabi, Beirut
Husain, Al- Dzahami M, Al-Tafsir
wa Al-Mufassirun, Maktabah wahbah, Kairo Juz 2
Jamaluddin M. Syurur, Al-Hidayah
Al- Siyasah Fi al Daulah Al-Arabiyah Al-Islamiyah, Kairo, darul Fikri
al-Arabi, 1975
Muhammad `Adil, Khawarij
(Sejarahnya, Kepercayaannya dan pendiriannya), Kairo, 2006
Nasution Harun, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid
I, Jakarta, Ui Press, 1985
Syalabi, Ahmad Tarikh
Al-Islam wa Al-hadharah Al-Islamiyah, juz 1, Mesir, Maktabah Al-Nahdhah
Al-Misriyah, 1975
Shidqi,Nuruzzaman, Syi'ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah,
Yogyakarta, PLP2M,1985
Qutaibah,
Ibnu, Ta'wil Mukhtalif Al-Halif, Kurdisan
Yayasan Dakwah Al-Islamiyah Malaysiah,
Ensiklopedi Islam Pelajar, Penerbit Era visi Publikation, sdb bhd
[1] Arbitrase
adalah usaha dalam mewujudkan perdamaian sengketa antara dua orang atau
kelompok yang berikai dan mereka sepakat untuk menunjukkan seseorang yang
mereka perangi untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antar mereka, dan
keputusan dari kedua belah pihak harus di patuhi dan dijalankan, hakim yang
ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa tersebut tidak dari kalangan pemerintah
namun kalangan swasta (lihat Stria Efendi, M Zein, Arbitraise dalam syariat
Islam, jurnal hukum Islam, No 16 1994 h 53.
[2] Ahmad Syalabi, Tarikh
Al-Islam wa Al-hadharah Al-Islamiyah, juz 1, Mesir, Maktabah Al-Nahdhah
Al-Misriyah, 1975, h.302
[3] M. Jamaluddin Syurur, Al-Hidayah
Al-Siyasah Fi al-Daulah Al-Arabiyah Al-Islamiyah, Kairoh, Darul Fikri
Al-Arabi, 1975, h. 69
[6] Yayasan Dakwah Al-Islamiyah Malaysiah, Ensiklopedi Islam Pelajar,
Penerbit Era visi Publikation, sdb bhd,h.95
[7] Muhammad Husain
Al-Dzahabi, Al-Ittihad al-Munharifah Fi Tafsir Al-qur'an Al-Karim, Darul
Ihya' Al-Turots Al-Arabi, Beirut, h. 165
888casino NJ Review - A Look At Its Games & Rating
BalasHapus888casino NJ Review · Slots, Live Casino, Mobile & More. · 오산 출장샵 Casino 동해 출장안마 Games 대전광역 출장샵 · Bonuses · Banking 김해 출장안마 Methods 경기도 출장안마 · Banking Methods · Payments &